Demokrasi di Era Orde Baru dan Reformasi

1. Demokrasi di Era Orde Baru
Pelaksanaan demokrasi selama masa demokrasi terpimpin adalah penyimpangan terhadap aturan dasar hidup bernegara (Pancasila dan UUD 1945). Oleh sebab itu, Pemerintahan Orde Baru melaksanakan sistem demokrasi pemerintahan dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Seluruh kegiatan pemerintahan negara dan hidup bermasyarakat dan berbangsa harus dijalankan sesuai dengan tata aturan yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. 

Namun, dalam perkembangannya Pemerintah Orde Baru mengarah pada pemerintahan yang sentralistis. Lembaga kepresidenan menjadi pusat dari seluruh proses politik dan menjadi pembentuk dan penentu agenda nasional, pengontrol kegiatan politik dan pemberi legacies bagi seluruh lembaga pemerintah dan negara. Kehidupan politik di masa Orde Baru sama dengan masa Orde Lama, yaitu terjadi penyimpangan-penyimpangan, antara lain adalah sebagai berikut.

a. Pemberantasan hak-hak politik rakyat
Misalnya jumlah partai politik yang dibatasi hanya tiga partai politik, yakni PPP, Golkar, dan PDI. Pegawai negeri dan ABRI diharuskan untuk mendukung partai penguasa, yaitu Golkar. Pertemuan-pertemuan politik harus mendapat izin penguasa. Ada perlakuan diskriminatif terhadap anak keturunan orang yang terlibat G 30 S/PKI . Para pengkritik pemerintah dikucilkan secara politik bahkan diculik.

b. Pemusatan kekuasaan di tangan presiden
Presiden dapat mengendalikan berbagai lembaga negara seperti MPR, DPR, dan MA. Anggota MPR yang diangkat dari ABRI berada di bawah kendali presiden, karena presiden merupakan panglima tertinggi ABRI. Selain itu, seluruh anggota DPR/MPR harus lulus penyaringan yang diadakan oleh aparat militer.

c. Pemilu yang tidak demokratis
Pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali penuh dengan kecurangan dan ketidakadilan karena hak-hak parpol dan masyarakat pemilih telah dimanipulasi untuk kemenangan Golkar.

d. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
Akibat dari penggunaan kekuasaan yang terpusat dan tak terkontrol, korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur. KKN telah menjerumuskan bangsa ke dalam krisis multidimensi berkepanjangan.

Pemerintahan Suharto yang otoriter di era orde baru berakhir setelah gerakan mahasiswa berhasil menekannya untuk mengundurkan diri sebagai presiden. Pernyataan pengunduran diri itu terjadi pada tanggal 21 Mei 1998. Adapun hal yang menjadi sebab-sebab kejatuhan Orde Baru adalah sebagai berikut.

  • Terjadi krisis politik dan keruntuhan legitimasi politik. Rakyat mulai kecewa dan tidak lagi mempercayai pemerintahan Orde Baru dan mengharapkan adanya pemerintahan yang baru.
  • Tidak bersatu lagi pilar-pilar pendukung Orde Baru. Banyak menteri yang tidak lagi mendukung pemerintahan. Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga tidak bersedia lagi menjadi alat kekuasaan Orde Baru.
  • Ekonomi nasional hancur yang ditandai oleh adanya krisis mata uang dan krisis ekonomi yang tidak mampu ditanggulangi.
  • Muncul desakan semangat demokratis dari para pendukung demokrasi.

2. Demokrasi di Era Reformasi
Mundurnya Suharto ditandai dengan naiknya B.J. Habibie sebagai presiden. B.J. Habibie menjadi presiden RI yang ke-3 menggantikan Presiden Suharto yang mengundurkan diri. Pergantian tersebut didasarkan pada pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh wakil presiden sampai habis waktunya.

Presiden B.J. Habibie menyatakan bahwa pemerintahannya adalah pemerintahan transisional. Disebut masa transisi karena merupakan masa perpindahan pemerintahan yang selanjutnya akan dibentuk pemerintahan baru yang demokratis dan berdasarkan kehendak rakyat. Antara tahun 1998 sampai tahun 1999 dianggap tahun yang penuh gejolak dan diwarnai oleh kerusuhan di beberapa daerah, antara lain konflik di Ambon dan Maluku, kerusuhan di Aceh, dan kerusuhan dan pertentangan di wilayah Timor Timur.

Pada tanggal 21 Oktober 1999, diselenggarakan pemilihan wakil presiden RI. Calonnya ialah Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan dilakukan dengan voting. Hasilnya diperoleh Megawati memperoleh suara terbanyak. Dengan demikian, wakil presiden RI periode 1999–2004 ialah Megawati yang dilantik pada 21 Oktober 1999. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, kedudukan Abdurrahman Wahid beralih kepada Megawati dengan wakilnya Hamzah Haz karena adanya ketidakpuasan rakyat selama pemerintahan yang dipimpin olehnya.

Pada tahun 2004 untuk pertama kalinya dalam melaksanakan demokrasi di era reformasi bangsa Indonesia melaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Pemilu diikuti oleh 24 partai politik. Pemilu dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, pada 5 April 2004 dilaksanakan pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kota/ kabupaten, dan DPD. Kedua, pada 5 Juli 2004 dilaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden tahap pertama. Ketiga, pada 20 September 2004 pemilihan presiden dan wakil presiden tahap kedua. Hasil pemilihan tersebut menempatkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2004–2009.

LihatTutupKomentar