Karakteristik Budaya Politik Parokial, Kaula dan Partisipan

Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, ternyata masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut.

  1. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya, tingkat pendidikan relatif rendah).
  2. Budaya politik kaula (subject political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
  3. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangattinggi.

Budaya Politik Parokial
Budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah. Dalam budaya politik ini masyarakat tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. 

Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik. Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik.

Tidak munculnya perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik tersebut menyebabkan sulitnya membangun demokrasi dalam budaya politik parokial. Demokrasi dalam budaya politik parokial hanya dapat dibangun jika terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa budaya politik parokial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.

  • Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai objek umum, objek-objek input, objek-objek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.
  • Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.
  • Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan terhadap perubahan komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.
  • Kaum parokial tidak mengharapkan apa pun dari sistem politik.
  • Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana ketika spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.
  • Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.

Budaya politik kaula atau subjek lebih rendah satu derajat dari budaya politik partisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman jika membicarakan masalah-masalah politik.

Demokrasi sulit berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subjek karena tiap-tiap warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu, mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah sehingga sangat sukar untuk mengharapkan partisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan ciri budaya kaula atau subjek sebagai berikut.

  • Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu. Akan tetapi, frekuensi orientasi terhadap objek-objek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.
  • Para subjek menyadari adanya otoritas pemerintah.
  • Hubungannya terhadap sistem politik secara umum dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.
  • Orientasi subjek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.

Tipe budaya kaula atau subjek ini antara lain diterapkan oleh golongan bangsawan Prancis. Mereka sangat menyadari adanya institusi demokrasi, tetapi secara sederhana hal ini tidak memberi keabsahan kepada mereka.

Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan. Mereka juga memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes jika terdapat praktikpraktik pemerintahan yang tidak fair.

Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi karena adanya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah. Hal itu ditunjukkan oleh tingkat kompetensi politik warga negara yang tinggi dalam menyelesaikan sesuatu hal secara politik. Warga negara merasa memiliki peran politik. Mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. 

Selain itu, warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela karena adanya saling percaya (trust) antarwarga negara. Oleh karena itu, dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan ciri budaya partisipan sebagai berikut.

  • Frekuensi orientasi politik sistem sebagai objek umum, objekobjek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.
  • Bentuk kultur politik anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit. Masyarakat pun aktif terhadap sistem politik secara komprehensif. Selain itu, masyarakat juga aktif terhadap struktur dan proses politik serta administratif (aspek input dan output sistem politik).
  • Anggota masyarakat bersikap partisipatif terhadap objek politik (tingkat partisipasi masyarakat sangat tinggi).
  • Masyarakat berperan sebagai aktivis.

Contoh masyarakat atau bangsa yang memiliki tipe budaya politik partisipan, menurut studi Almond dan Verba adalah Inggris dan Amerika Serikat. Menurut Almond dan Verba, ketiga tipe (partisipan, parokial, dan subjek) tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik sebagai berikut.

1. Budaya Politik Parokial-Subjek (The Parochial-Subject Culture) 
Bentuk budaya campuran (subjek-parokial) ini merupakan peralihan atau perubahan dari pola budaya parokial menuju pola budaya subjek (pemerintahan yang sentralistik). Contoh budaya ini adalah bentuk-bentuk klasik kerajaan, seperti kerajaankerajaan di Afrika, Rusia (Jerman), dan Kekaisaran Turki.

2. Budaya Politik Subjek-Partisipan (The Subject-Participant Culture)
Bentuk budaya campuran (subjek-partisipan) merupakan peralihan atau perubahan dari budaya subjek (pemerintahan yang sentralistik) menuju budaya partisipan (demokratis). Contoh negara yang memiliki tipe budaya campuran ini adalah Prancis, Jerman, dan Italia.

3. Budaya Politik Parokial-Partisipan (The Parochial-Participant Culture)
Bentuk budaya campuran (parokial-partisipan) ini merupakan peralihan atau perubahan dari pola budaya parokial menuju budaya partisipan. Tipe budaya campuran ini terdapat banyak di negara-negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan politik. Pada umumnya, di negara-negara berkembang budaya politik yang dominan adalah budaya parokial. 

Meskipun demikian, norma-norma struktural yang diperkenalkan biasanya bersifat partisipan dan demi keselarasan mereka menuntut suatu budaya partisipan. Hal ini sering menimbulkan ketimpangan antara struktur yang menghendaki sifat partisipan dengan budaya alami yang masih bersifat parokial.
LihatTutupKomentar