Napak Tilas Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia

 
Selamat atas keberhasilan kalian yang telah menyelesaikan pendidikan di jenjang sekolah menengah pertama atau madrasah tsanawiyah dan  diterima di sekolah menengah atas (SMA)atau sekolah menengah kejuruan (SMK) atau di madrasah aliyah (MA) atau madrasah aliyah  kejuruan (MAK). Keberhasilan ini sudah sepatutnya kalian syukuri, karena bagaimanapun keberhasilan kalian adalah merupakan anugerah dan nikmat yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Rasa syukur atas segala karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, harus kalian tunjukkan dengan semangat belajar yang tinggi dalam rangka mengembangkan potensi diri  yaitu dengan cara mengubah gaya belajar kalian. Mulai saat ini kalian lebih banyak belajar secara “mandiri” dan bekerja sama dengan  teman-teman  kalian, baik yang berasal dari satu sekolah maupun sekolah lainnya.  
Pada bab satu ini kalian akan mempelajari materi tentang “Hak Asasi Manusia dalam Kehidupan Bangsa Indonesia” yaitu dengan cara  memahami hal-hal yang berkenaan kasus-kasus pelanggaran HAM, makna pentingnya perlindungan dan pemajuan HAM, serta dasar hukum HAM di Indonesia. Selain itu, kalian juga harus mampu menganalisis upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam menegakkan HAM dan bagaimana membangun partisipasi masyarakat dalam pemajuan, penghormatan dan penegakan HAM di Indonesia. Untuk itu, silahkan kalian cermati uraian materi berikut ini.

A.    Kasus-KasusPelanggaran HAM
Banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan karena manusia lebih mengedepankan hak daripada kewajiban asasinya. Pernahkah Kalian mendengar atau membaca berita tentang kasus pelanggaran HAM? Tentu saja bila kalian rajin mengikuti berita dari media elektronik atau media cetak kasus-kasus pelanggaran HAM sangat sering kita dengar. Dari kasus-kasus yang kalian temui, kasus manakah yang menarik? Mengapa? Silakan kalian diskusikan dengan teman se bangku atau se kelas kalian. Berikut adalah salah satu kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM. Silakan kalian simak kasus tersebut.



KISAH MARSINAH

Cerita tragis yang dialami Sinah dimulai pada Ahad, 9 Mei 1993. Sosok perempuan muda berambut lebat itu ditemukan tak bernyawa lagi di sebuah lokasi dekat tempat tinggalnya, di Desa Wilangan, Nganjuk. Kala itu, kondisi tubuh Sinah amat mengenaskan. Sekujur tubuh penuh luka parah plus tulang panggul yang patah. Desas-desus langsung mengentak sesama rekan kerja. Beredar kabar kemudian, Sinah tewas dibunuh gara-gara terkait demonstrasi buruh yang terjadi di PT CPS.       
Usut punya usut, unjuk rasa para buruh dipicu sebuah surat edaran gubernur setempat. Isinya, semua perusahaan di wilayah itu diimbau menaikkan upah minimum regional (UMR). Walau kebijakan itu sudah dikeluarkan, PT CPS memilih bergeming. Perusahaan itu belum juga menaikkan UMR. Kondisi ini memicu geram para buruh. 
Tepat pada Senin, 3 Mei 1993, sebagian besar karyawan PT CPS berunjuk rasa dengan cara mogok kerja. Aksi ini berlanjut hingga keesokan harinya. Namun menjelang Selasa siang, manajemen perusahaan dan pekerja berdialog dan menyepakati sebuah perjanjian. Intinya, perusahaan akan mengabulkan permintaan karyawan dengan membayar upah sesuai UMR. Sepintas lalu, persoalan antara perusahaan dan karyawan seolah terselesaikan. Tapi pada keesokan harinya, sebanyak 13 orang karyawan dipanggil ke Markas Komando Distrik setempat dan diminta untuk mengundurkan diri dari PT CPS.
Marsinah penuh amarah. Menurut dia, dalam kesepakatan antara karyawan dan perusahaan--yang disaksikan Kantor Departemen Tenaga Kerja Sidoarjo dan Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Seluruh Indonesia--PT CPS berjanji tak akan mencari-cari kesalahan karyawan pasca tuntutan kenaikan UMR. Bagi Sinah, itu artinya sama dengan tak bakal memberlakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan.
Pada Rabu itu juga, sekitar pukul 21.00 WIB, Sinah mengunjungi teman-temannya yang terkena PHK. Usai beranjangsana seraya menyampaikan keprihatinannya, perempuan lajang ini berpisah di dekat Tugu Kuning, di Sidoarjo. Sebagai kalimat perpisahan saat itu, Sinah kembali menegaskan tak bisa menerima keputusan PHK  bagi rekan-rekannya tadi. Tak hanya itu, Sinah berjanji bakal menyelesaikan persoalan tersebut ke pengadilan. Terhitung sejak Rabu malam itulah, keberadaan Marsinah seolah lenyap ditelan gelap malam. Tepat delapan hari kemudian, 9 Mei 1993, tersiar kabar kalau Sinah ditemukan tewas secara tak wajar. Kasus ini sontak disorot media massa nasional. Sempat disebut-sebut, kematian sosok yang kini menjadi nama sebuah jalan di Nganjuk itu melibatkan tentara.
Polisi tentu tak tinggal diam. Berdasarkan hasil penyidikan, tercatat sembilan nama yang berasal dari susunan kepemimpinan dan pemilik PT CPS sebagai tersangka pelaku penganiayaan Marsinah. Dalam persidangan di tingkat pengadilan negeri dan tingkat banding, kesembilan orang tadi dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman. Tapi ketika persidangan naik ke tingkat kasasi Mahkamah Agung, semua tersangka malah dibebaskan demi hukum. Dasarnya: ada kesalahan prosedur dalam kasus ini.     
Semenjak itulah, pengusutan Kasus Marsinah belum menunjukkan titik terang, bahkan seakan terlupakan. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, kasus Sinah sempat dibicarakan kembali. Bahkan Gus Dur--panggilan akrabnya--saat itu meminta agar Kasus Marsinah kembali diusut. Keinginan senada pun dikemukakan Komisi Nasional HAM saat bertemu Presiden Megawati Sukarnoputri, sekitar pertengahan April 2002. Menurut Komnas HAM, Megawati sepakat buat mengusut ulang kasus kematian peraih penghargaan HAM Yap Thiam Hien 1993 itu.



B.     Perlindungan dan Pemajuan HAM

1. Hakikat Hak Asasi Manusia (HAM)
Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kesempurnaanya. Salah satu kesempurnaan yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia adalah “akal dan pikiran” yang membedakannya dengan makhluk lain. Sejak diciptakan dan dilahirkan manusia telah dianugerahi hak-hak yang melekat pada dirinya dan harus dihormati oleh manusia yang lainnya. Hak tersebut  disebut juga dengan hak asasi manusia (HAM).
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang melekat pada diri manusia sejak manusia diciptakan sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak yang dimiliki setiap orang tentunya tidak dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya, karena ia berhadapan langsung dan harus menghormati hak yang dimiliki orang lain. Hak asasi manusia terdiri atas dua hak yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Tanpa adanya kedua hak ini maka akan sangat sulit untuk menegakkan hak asasi lainnya.
 Pengakuan terhadap hak asasi manusia  pada hakikatnya merupakan penghargaan terhadap segala potensi dan harga diri manusia menurut kodratnya. Walaupun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa hakikat tersebut  tidak hanya mengundang hak untuk menikmati kehidupan secara kodrati. Sebab dalam hakikat kodrati itupun terkandung kewajiban pada diri manusia tersebut. Tuhan memberikan sejumlah hak dasar tadi dengan kewajiban membina dan menyempurnakannya.
Selanjutnya, John Locke seorang ahli ilmu Negara dalam Buku Sistem Pemerintahan Indonesia Tahun 2012 karangan Trubus Rahardiansyah menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Selain John Locke, terdapat pula tokoh nasional yang memberikan batasan tentang hak asasi manusia. Beliau adalah Prof. Mr. Koentjoro Poerbapranoto, dalam Buku Sistem Pemerintahan Indonesia Tahun 2012 karangan Trubus Rahardiansyah yang menjelaskan hak asasi manusia adalah hak yang bersifat asasi, artinya hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 menyebutkan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Berdasarkan rumusan-rumusan hak asasi manusia tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, atau negara.
Dengan demikian, hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan. Keseimbangannya adalah antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintahan baik sipil maupun militer), dan negara. Jadi, dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan,, kepentingan tersebut tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu, pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan pemenuhan terhadap KAM (kewajiban asasi manusia) dan TAM (tanggung jawab asasi manusia) dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.
Dalam penerapannya hak asasi manusia (HAM) tidak dapat dilepaskan dari kewajiban asasi manusia (KAM) dan tanggung jawab asasi manusia (TAM). Ketiganya merupakan keterpaduan yang berlangsung secara seimbang. Bila ketiga unsur asasi yang melekat pada setiap individu manusia (baik dalam tatanan kehidupan pribadi, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan, dan pergaulan global) tidak berjalan seimbang maka dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan dan kesewenang-wenangan dalam tata kehidupan manusia.
Beberapa ciri pokok hakikat HAM berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, yaitu sebagai berikut.
a.    HAM tidak perlu diberikan, diminta, dibeli, ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
b.    HAM berlaku untuk semua orang tanpa melihat jenis kelamin, ras, agama, etnis, politik, atau asal-usul sosial dan bangsa.
c.    HAM tidak boleh dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM. Oleh karena itu, apabila HAM dilanggar oleh seseorang atau lembaga negara atau sejenisnya maka akan dikenai hukuman.


2.   Upaya Pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia
a.   Periode Tahun 1945 - 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi), yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bersamaan dengan itu prinsip kedaulatan rakyat dan negara berdasarkan atas hukum dijadikan sebagai sendi bagi penyelenggaraan negara Indonesia merdeka. Komitmen terhadap HAM pada periode awal kemerdekaan sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang tertulis dalam Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka menyatakan:
“…sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa bagi kita cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat pemilihan itu pemerintah akan berganti dan UUD kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak.”

Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang antara lain menyatakan sebagai berikut.
1)  Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
2) Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946. Hal yang sangat penting dalam kaitan dengan HAM adalah adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintahan dari presidensial menjadi sistem parlementer, sebagaimana tertuang dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yang tertulis dalam Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka. Isi Maklumat tersebut adalah sebagai berikut.
Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang ketat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menegakkan diri, merasa bahwa saat sekarang sudah tepat utnuk menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah tanggung jawab adalah di dalam tangan menteri”.


b.  Periode Tahun 1950 - 1959
Periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan dalam Buku Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, karangan Tim ICCE UIN Jakarta menyatakan bahwa pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “pasang” dan menikmati “bulan madu” kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata negara ini ada 5 (lima) aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung harus dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan. Dalam perdebatan di Konstituante misalnya, berbagai partai politik yang berbeda aliran dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD serta menjadi bab tersendiri. Bahkan diusulkan oleh anggota Konstituante keberadaannya mendahului bab-bab UUD. 

c   Periode Tahun 1959 - 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan terpusat dan berada di tangan Presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin, Presiden melakukan tindakan inkonstitusional, baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan hak politik seperti hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Dengan kata lain, telah terjadi sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.

d.  Periode Tahun 1966 - 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan Komisi, dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya, pada tahun 1968 diadakan Seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materiil (judicial review) guna melindungi HAM. Hak uji materiil tidak lain diadakan dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS/1966. MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam Piagam tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara. Dalam Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka, Ketua MPRS, A.H. Nasution dalam pidatonya menyatakan sebagai berikut.
“Isi hakikat daripada Piagam tersebut adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia sebagai ciptaan Tuhan yang dibekali dengan hak-hak asasi, yang berimbalan dengan kewajiban-kewajiban. Dalam pengabdian sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa manusia melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam hubungan yang timbal balik: a. antar manusia dengan manusia; b. antarmanusia dengan Bangsa, Negara dan Tanah Air; antar Bangsa. Konsepsi HAM ini sesuai dengan kepribadian Pancasila yang menghargai hak individu dalam keselarasannya dengan kewajiban individu terhadap masyarakat”.

Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran penguasa pada masa ini sangat diwarnai oleh sikap penolakannya terhadap HAM sebagai produk Barat dan individualistik serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pemerintah pada masa ini bersifat mempertahankan produk hukum yang umumnya membangun pelaksanaan HAM. Sikap pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Selain itu, Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM. Selain itu, sikap pemerintah ini didasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia.
Meskipun mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama di kalangan masyarakat yang dimotori oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan akademisi yang fokus terhadap penegakan HAM. Upaya masyarakat dilakukan melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampaknya memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES Nomor 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Selain itu, Komisi ini bertujuan untuk membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (termasuk hasil amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, Piagam Madinah, Khutbah Wada’, Deklarasi Kairo, dan deklarasi atau perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penegakan HAM.  

e.  Periode Tahun 1998 - Sekarang
Pergantian pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya, dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Demikian pula pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen HAM nternasional semakin ditingkatkan. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen internasional dalam bidang HAM.
       Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan (prescriptive status) dan tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour). Pada tahap status penentuan (prescriptive status) telah ditetapkannya beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi negara (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), ketetapan MPR (TAP MPR), Undang-Undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
Pada masa pemerintahan Presiden Habibie, penghormatan dan pemajuan HAM mengalami perkembangan yang sangat berarti. Hal itu ditandai dengan adanya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya (diratifikasi) sejumlah konvensi HAM, yaitu Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam Lainnya dengan UU Nomor 5/1999; Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi dengan keppres Nomor 83/1998; Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa dengan UU Nomor 19/1999; Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan dengan UU Nomor 21/1999; Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dengan UU Nomor 20/1999. Selain itu, juga dicanangkan program “Rencana Aksi Nasional HAM” pada tanggal 15 Agustus 1998 yang didasarkan pada empat hal sebagai berikut.
1.      Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM.
2.      Desiminasi informasi dan pendidikan bidang HAM.
3.      Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM.
4.      Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan nasional. 

C.    Dasar Hukum HAM di Indonesia
Pengaturan HAM dalam ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat dalam perundang-undangan yang dijadikan acuan normatif dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Dalam perundang-undangan Republik Indonesia paling tidak terdapat empat bentuk hukum tertulis yang menyatakan tentang HAM. Pertama, dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undang-Undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Kelebihan pengaturan HAM dalam perundang-undangan tertulis memberikan jaminan kepastian hukum yang sangat kuat, karena perubahan dan/atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia dilakukan melalui proses amandemen dan referendum. Adapun, kelemahanya karena yang diatur dalam konstitusi hanya memuat aturan yang bersifat global seperti ketentuan tentang HAM dalam konstitusi Republik Indonesia. Sementara itu, bila pengaturan HAM melalui TAP MPR, kelemahannya tidak dapat memberikan sanksi hukum bagi pelanggarnya. Adapun pengaturan HAM dalam bentuk Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya memiliki kelemahan pada kemungkinan seringnya mengalami perubahan.
1) Pengaturan HAM dalam Konstitusi Negara
Pengaturan HAM dalam Konstitusi Negara terdapat pada dokumen-dokumen berikut.
a)      Undang Undang Dasar Tahun 1945

Jaminan perlindungan atas hak asasi manusia yang terdapat dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945, di antaranya adalah sebagai berikut.

a.       Hak atas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, Pasal  27 Ayat (1)
b.      Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak,Pasal 27 Ayat (2)
c.       Hak berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, Pasal 28
d.      Hak memeluk dan beribadah sesuai dengan ajaran agama, Pasal 29 Ayat (2)
e.       Hak dalam usaha pembelaan negara, Pasal 30
f.       Hak mendapat pengajaran, Pasal 31
g.      Hak menikmati dan mengembangkan kebudayaan nasional dan daerah, Pasal 32
h.      Hak di bidang perekonomi, Pasal 33
i.        Hak fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, Pasal 34

b)     Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)
Jaminan pemajuan hak asasi manusia, dalam Konstitusi RIS 1949, diantaranya adalah sebagai berikut.
a.    Hak diakui sebagai person oleh UU (The Right to recognized as a person under the Law), Pasal 7 Ayat (1)
b.      Hak persamaan di hadapan hukum (The right to equality before the law), Pasal 7 Ayat (2)
c.    Hak persamaan perlindungan menentang diskriminasi (The right to equal protection againts discrimination), Pasal 7 Ayat (3)
d.      Hak atas bantuan hukum (The Right to Legal assistance), Pasal 7 Ayat (4)
e.      Hak atas keamanan personal (The Right to personal security), Pasal 8
f.       Hak atas kebebasan bergerak (The Right to freedom or removement and residence), Pasal 9 Ayat (1)
g.      Hak untuk meninggalkan negeri (The Right to leave any country), Pasal 9 Ayat (2)
h.   Hak untuk tidak diperbudak (The Right not to be subjected to slavery, servitude, or bondage), Pasal 10
i.        Hak mendapatkan proses hukum (The Right to due process of law), Pasal 11
j.       Hak untuk tidak dianiaya (The Right not to be subjected to turtore, or to cruel, inhuman or degrading treatement or punishment),Pasal 12
k.      Hak atas peradilan yang adil (The Right to impartial judiciary), Pasal 13 Ayat (1)
l.    Hak atas pelayanan hukum dari para hakim (The Right to an effective remedy by the competent national tribunals), Pasal 13 Ayat (2)
m.   Hak dianggap tidak bersalah (The Right to be persumed innonence), Pasal 14 Ayat (1, 2, 3)
n.    Hak atas kebebasan berpikir dan beragama (The Right to freedom or thought, conscience, and religion) (Pasal 18)
o.     Hak atas kebebasan berpendapat (The Right to freedom of opinion and express), Pasal 19
p.     Hak kebebasa berkumpul (The Right to association),Pasal 20
q.     Hak atas penuntutan (The Right to petition the government), Pasal 21 Ayat (1)
r.      Hak turut serta dalam pemerintahan (The Right to take part in the government), Pasal 22 Ayat (1)
s.       Hak akses dalam pelayanan publik (The Right to equal acess to public service), Pasal 22 Ayat (2)
t.        Hak mempertahankan negara (The Right to national defence), Pasal 23
u.     Setiap warga negara berhak dan berkewajiban turut serta dan sungguh-sungguh dalam pertahanan kebangsaan, Pasal 23
v.     Hak atas kepemilikan (The Right to own proverty alone as well as in association with others), Pasal 25 Ayat (1)
w.     Hak untuk tidak dirampas hak miliknya (The Right to be arbitrary deprived of his property), Pasal 25 Ayat (2)
x.     Hak mendapatkan pekerjaan (The right to work, to free choice employment, to just and favourable conditions), Pasal 27 Ayat (1)
y.        Hak atas kerja (The Right to work and to pay for equal work), Pasal 27 Ayat (2)
z.        Hak untuk membentuk serikat kerja (The Right to labour union), Pasal 28

c)      Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950
Perlindungan dan materi muatan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950. diantaranya adalah sebagai berikut.
a.       Hak atas kebebasan agama, keinsyafan batin, dan pikiran, Pasal 28
b.      Hak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, Pasal 19
c.       Hak atas kebebasan berkumpul dan berapat diakui dan diatur dengan undang-undang, Pasal 20
d.      Hak berdemonstrasi dan mogok diakui dan diatur dengan undang-undang, Pasal 21
e.   Hak berpendapat, berserikat dan berkumpul. Bahkan hak berdemonstrasi dan mengajukan pengaduan kepada penguasa, Pasal 22
f.       Hak turut serta dalam pemerintahan, Pasal 23
g.    Berhak dan berkewajiban turut serta dengan sungguh-sungguh dalam pertahanan negara, Pasal 24
h.      Hak atas kepemilikan baik sendiri maupun bersama-sama orang lain, Pasal 26
i.        Hak atas pekerjaan, yang layak bagi kemanusiaan, Pasal 28
j.  Hak untuk mendirikan serikat pekerja dan masuk kedalamnya untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingannya, Pasal 29
k.      Hak dibidang pendidikan dan pengajaran, Pasal 30
l.        Hak untuk terlibat dalam pekerjaan dan organisasi-organisasi sosial, Pasal 31
m.    Hak atas kebebasan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, Pasal 40
n.      Hak atas jaminan kesehatan, Pasal 42

d)     Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Jaminan atas pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, di antaranya adalah sebagai berikut.
a.      Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya, Pasal 28 A
b.     Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, Pasal 28 B Ayat (1)
c.     Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, Pasal 28 B Ayat (2)
d.      Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, Pasal 28 C Ayat(1)
e.  Hak untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, Pasal 28 C Ayat (1)
f.       Hak untuk mengajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif, Pasal 28 C Ayat (2)
g.    Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum, Pasal 28 D Ayat (1)
h.     Hak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, Pasal 28 D Ayat (3)
i.        Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, Pasal 28 D Ayat (3)
j.        Hak atas status kewarganegaraan, Pasal 28 D Ayat (4)


Masih banyak lagi pasal-pasal dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur tentang hak asasi.


2)  Pengaturan HAM dalam Ketetapan MPR
Pengaturan HAM dalam ketetapan MPR, dapat dilihat dalam TAP MPR Nomor XVII Tahun 1998 tentang Pelaksanaan dan Sikap Bangsa Indonesia Terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional.
3)  Pengaturan HAM dalam Undang-Undang
Pengaturan HAM juga dapat dilihat dalam Undang-undang yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, antara lain adalah sebagai berikut.
a.    UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
b.   UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan atau Penghukuman Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
c.    UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
d.   UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat
e.  U Nomor 11 Tahun 1998 tentang Amandemen terhadap UU Nomor 25 Tahun 1997 tentang Hubungan Perburuhan
f.    UU Nomor 19 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Pekerja secara Paksa
g.     UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum Bagi Pekerja
h.    UU Nomor 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konevnsi ILO Nomor 11 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan
i.      UU Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU Nomor 11 Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi
j.       UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
k.     UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
l.       UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
m.   UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

4)      Pengaturan HAM dalam Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden
Pengaturan HAM dalam peraturan pemerintah dan Keputusan Presiden, diantaranya  adalah sebagai berikut.
a.   Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM
b. Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 181 Tahun 1998 tentang Pendirian Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Wanita
c.  Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 1998-2003, yang memuat rencana ratifikasi berbagai instrumen hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta tindak lanjutnya
d.  Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Makassar
e.   Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001
f.   Keputusan Presiden Nomor 181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
g.   Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM

Keseluruhan ketentuan perundang-undangan di atas merupakan pintu pembuka bagi strategi selanjutnya, yaitu tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour). Pada tahap ini diupayakan mulai tumbuh kesadaran terhadap penghormatan dan penegakan HAM, baik di kalangan aparat pemerintah maupun masyarakat karena HAM merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu diperjuangkan, dihormati, dan dilindungi oleh setiap manusia. Penataan aturan secara konsisten memerlukan persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan pertama adalah demokrasi dan supremasi hukum; kedua, HAM sebagai tatanan sosial. Menurut Prof Bagir Manan demokrasi dan pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum merupakan instrumen bahkan prasyarat bagi jaminan perlindungan dan penegakan HAM. Oleh karena itu, hubungan antara HAM, demokrasi, dan negara harus dilihat sebagai hubungan keseimbangan yang “simbiosis mutualistik”. Selanjutnya, HAM sebagai tatanan sosial merupakan pengakuan masyarakat terhadap pentingnya nilai-nilai HAM dalam tatanan sosial. Pendidikan HAM secara kurikuler maupun melalui pendidikan kewarganegaraan (civic education) sangat diperlukan dan terus dilakukan secara berkesinambungan.



D.    Upaya Pemerintah dalam Menegakkan HAM
Banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia menuntut dibentuknya lembaga perlindungan hak asasi manusia. Dalam upaya menegakkan hak asasi manusia tersebut, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,  khususnya Pasal 28 I Ayat (4) menegaskan bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah”. Guna menjabarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka dibentuklah lembaga perlindungan HAM seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Peradilan HAM, dan lembaga perlindungan HAM lainnya.
Masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam penegakan HAM di Indonesia terutama dalam membentuk LSM HAM seperti Kontras dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Beberapa lembaga bentukan pemerintah berkaitan dengan pemajuan dan penegakan HAM, di antaranya adalah sebagai berikut.
1.      Membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Komnas HAM dibentuk pada tanggal 7 Juni 1993 melalui Kepres Nomor 50 Tahun 1993. Keberadaan Komnas HAM selanjutnya diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 75 sampai dengan Pasal 99. Komnas HAM merupakan lembaga negara mandiri setingkat lembaga negara lainnya yang berfungsi sebagai lembaga pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. 

2.      Membuat produk hukum yang mengatur mengenai HAM
Pembuatan produk hukum yang mengatur mengenai hak asasi manusia (HAM) dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dalam proses penegakan HAM. Selain itu, produk hukum tersebut memberikan arahan bagi pelaksanaan proses penegakan HAM. Adapun pembentukan produk hukum dibentuk dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan MPR, Piagam HAM 1998, dan meratifikasi instrumen HAM internasional.

3.      Membentuk pengadilan HAM
Pengadilan HAM dibentuk berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2000. Pengadilan HAM adalah peradilan khusus di lingkungan peradilan umum. Peradilan HAM memiliki wewenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk yang dilakukan di luar teritorial wilayah Negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. 

 
E.     Partisipasi Masyarakat dalam Pemajuan, Penghormatan, dan Penegakan HAM di Indonesia

Pada dasarnya upaya pemajuan, penghormatan dan penegakan hak asasi manusia sering mengalami kendala-kendala dalam pelaksanaannya. Hal tersebut disebabkan karena penegakan hak asasi manusia masih bersifat parsial atau berdiri sendiri. Untuk itu dibutuhkan peran serta segenap komponen bangsa, yaitu masyarakat dan pemerintah. Diharapkan keduanya saling bekerja sama dan penegakan hak asasi manusia dapat berjalan dengan baik.

Dalam pelaksanaannya, upaya penegakan hak asasi manusia sering mengalami kendala dan hambatan. Hambatan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.
1.      Kondisi sosial-budaya yang berbeda sebagai konsekuensi logis dari bentuk Negara kepulauan, yang juga memiliki banyak adat dan budaya. Disadari atau tidak, dengan masih adanya stratifikasi dan perbedaan status sosial di negeri ini, seperti pendidikan, usia, keturunan, pekerjaan, dan hal lainya dalam kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan konflik horizontal.
2.       Sebagai negara kepulauan yang besar tentu membutuhkan cara untuk menyampaikan informasi secara merata kepada masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan komunikasi yang baik melalui cara personal maupun teknologi. Komunikasi dan informasi inilah yang kemudian menjadi hambatan dalam pemajuan dan penegakan HAM.
3.       Untuk mengatasi permasalahan di negeri ini, pemerintah tidak jarang mengambil kebijakan yang dapat menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Kebijakan tersebut terkadang harus mengabaikan perbedaan kondisi masyarakat, sehingga tak jarang terdapat hak-hak manusia yang dilanggar.
4.   Dibuatnya peraturan perundangan bertujuan untuk mengatur hak-hak manusia agar tidak saling bersinggungan. Namun dengan adanya sejumlah peraturan perundangan yang diambil dari konvensi internasional, tidak seluruh klausul dalam konvensi tersebut sesuai dengan kondisi Indonesia. Hal ini mengakibatkan pelanggaran HAM masih sering terjadi.
5.    Tidak hanya pemerintah dan peraturan perundangan yang mengatur persoalan HAM, aparat dan penindaknya sebagai eksekutor memiliki faktor penting dalam penegakan HAM. Penindakan yang lemah mengakibatkan banyak terjadi penyimpangan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanggar hak orang lain.
6.     Rendahnya pemahaman warga negara tentang arti penting HAM. Akibatnya, masih sering dijumpai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan warga negara, seperti pencurian, penodongan, penganiayaan ringan dan sebagainya.
7.     Rendahnya kualitas mental aparat penegak hukum di Indonesia sehingga korupsi dan kolusi, masih dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum.
8.        Lemahnya instrumen penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

Berdasarkan kondisi di atas, upaya pemajuan dan penghormatan HAM harus didukung oleh sikap dan perilaku warga negara. Sebagai warga negara sudah sepantasnya sikap dan perilaku kita mencerminkan sosok manusia beradab yang selalu menghormati keberadaan orang lain. Disamping itu, diperlukan peran aktif kita untuk secara bersama-sama membantu menyelesaikan masalah pelanggaran HAM, baik yang bersifat lokal maupun nasional sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.
   UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merumuskan dalam Pasal 28 J bahwa kita “wajib menghormati hak asasi orang lain”. Hal ini mengandung arti bahwa sudah sepantasnya kita menghormati hak-hak orang lain dan kemudian kita wajib memperjuangkan hak asasi tersebut sesuai dengan kodratnya.

Sebagai warga negara, sikap yang patut kita munculkan dalam upaya penegakan hak asasi manusia antara lain dapat berupa hal berikut.
a.        Menolak dengan tegas setiap terjadinya pelanggaran HAM
Sikap tersebut kita kemukakan dengan alasan bahwa pelanggaran hak asasi manusia pada dasarnya adalah pelanggaran atas harkat dan martabat manusia.Selain itu, secara hukum pelanggaran HAM bertentangan dengan berbagai peraturan HAM yang ada, baik instrumen HAM nasional maupun internasional. Pelanggaran HAM akan mengancam hak kemerdekaan bagi seseorang dalam berbagai segi kehidupan.
b.   Mendukung dengan tetap bersikap kritis terhadap upaya penegakan HAM
Kegiatan yang dapat kita lakukan adalah mendukung upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga perlindungan HAM lainnya. Di samping itu, upaya dukungan kita terhadap tindakan tegas terhadap para pelaku pelanggaran HAM perlu terus dilakukan. Misalnya, mendukung penegakan HAM yang dilakukan  oleh aparat serta proses peradilan HAM dalam upaya penegakan HAM. Bentuk dukungan lain yang dapat kita lakukan adalah memberikan bantuan kemanusiaan.

Dengan demikian, masalah penegakan HAM di Indonesia tidak hanya bergantung pada peran pemerintah tetapi juga pada peran serta warga negara. Keberhasilan penegakan hak asasi manusia sangat dipengaruhi  oleh beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut.
1)   Instrumen HAM (peraturan-peraturan yang berhubungan dengan HAM).
2)   Aparatur pemerintah, seperti kejaksaan, kepolisian, kehakiman, dan sebagainya.
3)   Proses Peradilan hak asasi manusia, seperti tata cara penangkapan, perlindungan saksi, dan sebagainya.

Menurut Prof Dr. Muladi, SH, pakar hukum pidana menjelaskan bahwa penegakan hak asasi manusia di Indonesia sering mengalami beberapa tantangan dan hambatan, di antaranya sebagai berikut.
a.       Instrumen penegakan HAM, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 hanya mengambil sebagian norma hukum internasional dalam International Crime Court (ICC).
b.     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tidak secara tuntas memperhitungkan konsekuensi penyesuaian jenis-jenis tindak pidana sesuai dengan Statuta Roma Tahun 1998.
c.    Jika di dunia terdapat 11 kategori kejahatan Kemanusiaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 hanya mengambil 10 kategori. Satu kategori yang hilang adalah tentang kejahatan kemanusiaan yang memiliki karakter merendahkan martabat kemanusiaan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 belum mengaturnya.
d.    Tidak masuknya masalah kejahatan perang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000.
e.       Perlindungan saksi yang tidak maksimal.
f.     Hukum Acara Peradilan HAM masih menggunakan Hukum Acara KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
 

Refleksi
Setelah kalian menapak tilas materi tentang penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia, tentunya kalian semakin paham bahwa upaya pemajuan, penghormatan dan penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia sudah ada mulai dari awal kemerdekaan. Upaya tersebut merupakan keinginan pemerintah untuk menghormati hak asasi manusia. Nah, coba sekarang renungkanlah hal-hal berikut serta cobalah berikan jawabannya! Kemudian, amalkanlah dalam kehidupanmu sehari-hari!
1.      Bila kalian melanggar hak asasi orang lain, bagaimana perasaan kalian?
2.     Apa hak dan kewajibanmu sebagaiwarga negara untuk memajukan dan menegakkan hak asasi manusia?
3.    Mengapa masih ada peristiwa pelanggaran hak asasi manusia saat ini?Bagaimana untuk menghindari hal itu?
4.      Bagaimana ketentuan yang terdapat dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang upaya pemajuan hak asasi manusia?
5.      Manfaat apa saja yang kalian dapatkan dari pembelajaran bab ini?

 

RANGKUMAN
1.        Kata Kunci
Kata kunci yang harus kalian pahami dalam mempelajari materi pada bab ini, yaitu hak asasi, pemajuan, instrumen, dan aparat.

2.        Intisari Materi 
Setelah kita bersama-sama mempelajari Bab 1 Hak Asasi Manusia dalam Kehidupan Bangsa Indonesia,dapat kita simpulkan antara lain sebagai berikut.
 
1.   Banyaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi di dunia, menyebabkan upaya penegakan HAM selalu mendapatkan sorotan dari masyarakat. Tingginya sorotan masyarakat terhadap upaya penegakan HAM  mengindikasikan bahwa penegakan HAM itu merupakan suatu hal yang mendasar dan teramat penting untuk dilakukan.
2.   Upaya penegakan HAM dilakukan sebagai jawaban atas telah terjadinya tindak penindasan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Walaupun upaya penegakan HAM sudah sangat lama, ternyata pelanggaran dan penindasan terhadap hak kemanusiaan masih saja terjadi di sekitar kita. Kasus kematian TKI di luar negeri, pekerja anak dan kejahatan kemanusiaan masih saja mewarnai perjalanan upaya penegakan HAM di Indonesia.
3.  Peranan pemerintah dan partisipasi masyarakat menjadi prasyarat utama dalam rangka pelindungan dan pemajuan HAM di Indonesia.Dengan demikian, diharapkan tercipta peri kehidupan yang harmonis yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila.


***Jika Ingin mendownload file, silahkan klik di sini


LihatTutupKomentar